Korupsi,
satu kata yang mungkin tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Pada
tanggal 17 oktober 2006 di situlah awal mula kasus tindak pidana korupsi mulai
di usut, pada saat itu Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menyebarluaskan
data para pelaku tindak pidana korupsi yang telah mendapatkan kekuatan hukum
tetap.
Kata “korupsi” memang tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia, bahkan dapat di katakan telah mendarah daging, mengapa
tidak setiap membuka acara berita pada siaran televisi pasti rata – rata
memberitakan kasus – kasus korupsi yang terungkap atau yang masih dalam tahap
pengusutan yang dilakukan oleh pejabat publik. Bagi masyarakat awam mungkin
saja pengertian korupsi masih sebatas sutau tindakan yang dilakukan oleh para
pejabat Negara di mana mereka mengambil uang yang seharusnya digunakan untuk
kepentingan umum tetapi mereka menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Pengertian
korupsi secara harfiah adalah perilaku pejabat publik baik politikus/politisi
maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar atau tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kepercayaan
publik yang diberikan mereka[1].
korupsi
sebenarnya suatu perilaku seseorang ataupun sekelompok orang yang mendapat
tanggungjawab publik dengan sengaja mengambil hak publik untuk menjadi milik
sendiri ataupun milik suatu kelompok tertentu. Jadi, secara tidak langsung
masyarakat awam sendiri sebagian besar tentunya telah mengenal apa yang
dimaksud dengan korupsi itu, tetapi menurut penulis tidak harus seorang
politikus/politisi atau pegawai negeri tapi semua orang yang mendapat
tanggungjawab publik dan mengambil sesuatu yang bukan menjadi miliknya telah
dapat di sebut koruptor[2].
Menurut
hukum unsur – unsur suatu tindakan dapat dikatakan tindak pidana korupsi adalah
:
1. Merupaka
perbuatan melawan hukum
2. Penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan atau sarana
3. Memperkaya
diri sendiri, orang lain atau korporasi
4. Merugika
keuangan Negara atau kewenangan Negara
Unsur – unsur tersebut penulis berpendapat bahwa perilaku korupsi sendiri
merupakan sebutan halus atau persamaan dari kata pencuri ataupu perampok,
karena korupsi hanya ditunjukkan kepada orang – orang yang memiliki tanggung
jawab publik yang sebagian besar bahkan seluruhnya memiliki pendidikan yang
tinggi maka tidak terlalu pantas rasanya menggunakan kata pencuri untuk mereka.
Oleh karena itu, digunakanlah kata “koruptor” meskipun sebenarnya kata pencuri
ataupun koruptor memiliki arti yang sama yaitu seseorang atau sekelompok orang
yang telah mengambil hak orang lain. Selain itu, menurut penulis pencuri hanya
merugikan satu orang atau beberapa orang sedangkan koruptor telah merugikan
seluruh rakyat Indonesia , jadi meskipun rata-rata koruptor memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi namun cara mereka berpikir sama saja dengan orang yang
sama sekali tidak memiliki pendidikan.
Kalau
saja Indonesia 70% dihuni dengan orang – orang yang seperti para koruptor yang
terhormat tersebut, maka jangan pernah berharap Indonesia akan menjadi Negara
yang kaya dan makmur, karena sekaya apapun Negara tersebut kalau para
pemimpinnya tidak bermoral maka akan miskin juga penduduknya. Sebuah analogi
bahwa sebah Negara yang baik akan tampak dengan tindak tanduk para pemimpinnya,
namun ada suatu pendapat yang mengagetkan penulis yang menyatakan bahwa “
pantas – pantas saja kalau di Indonesia begitu banyak koruptor karena Indonesia
adalah Negara yang kaya, kalau saja Indonesia adalah Negara yang miskin maka
tidak aka nada koruptor di Indonesia “. Pendapat tersebut memang tepat bahkan
sangat tepat, tapi yang menjadi pertanyaannya kini apa yang menunjukkan
Indonesia adalah Negara yang kaya ? apakah dengan sumber daya yang melimpah
tetapi dengan sebagian besar penduduknya yang miskin apakah masih pantas di
sebut kalau Indonesia adalah Negara yang kaya ? suatu pertanyaa yang mungkin
setiap orang memiliki pendapat sendiri untuk menjawabnya.
Prestasi
Indonesia di mana dunia kini bahwa Indonesia telah menempati urutan ke-3 Negara
terkorup di Dunia. Indonesia menempati peringkat pertaman Negara terkorup
se-Asia Pasifik[3].
Sungguh prestasi yang “membanggakan” di smping prestasi bidang keilmuan
Indonesia yang cukup di perhitungkan di mata dunia, Indonesia memiliki catatan
hitam yang cukup memalukan. Tentu hal ini merupakan tekanan ataupun tamparan
keras untuk bangsa Indonesia, mengapa tidak Indonesia adalah Negara yang
dikenal memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam namun tindak tanduknya
seperti Negara yang mayoritas penduduknya tidak beragama, bukankah di dalam
Al-Qur’an sendiri bahwa mengambil hak orang lain merupakan salah satu dosa
besar.
Prestasi
yang menyedihkan itu seakan – akan hanya menjadi sampah public yang tidak
penting bagi masyarakat khusunya pemerintah Indonesia sendiri, sepertinya
korupsi di Indonesia telah menjadi budaya dari pemerintahan yang satu ke
pemerintahan yang lain, dari masa pimpinan Negara yang satu kemasa pimpinan
Negara yang lain, meskipun pemerintah sendiri telah merumuskan Undang – Undang
Anti Tindak Pidna Korupsi tetap saja itu bukanlah penghalang bagi para pejabat
publik yang ingin melakukan korupsi, bahkan undang – undang tersebut kini
serasa hanya topeng usaha untuk menghilangkan budaya korupsi di Indonesia.
Pemerintah sendiri seakan enggan menyelesaikan masalah pelik yang terjadi di
Indonesia kini
Berbicara
mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia, sebenarnya menurut sejarah sejak
orde lama hingga era reformasi kini pemerintah Indonesia telah membentuk
lembaga – lembaga khusus yang menangani Tindak Pidana Korupsi, misalnya saja :
Pada orde lama tercatat dua kali dibentuk
badan pemberantasan korupsi.
1.
Dengan
perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran).
2.
Pada 1963,
melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan
Keamanan/Kasab,
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas
yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran
utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang
dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi
Pada orde baru terdapat beberapa lembaga
pemberantasan korupsi di antaranya :
2.
Komite Empat
Era
reformasi sendiri usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU,
atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK) melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat
menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial
review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun
1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi yang
kita kenal hingga saat ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan
salah satu jawaban untuk masalah pemberantasan korupsi di Indonesia kini,
tepatnya pada tanggal 16 desember 2003 terbentuklah Lembaga Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang di harapkan dapat memberikan sedikit demi sedikit cahay
kemakmuran bagi bangsa Indonesia, Taufiequrachman
Ruki adalah ketua KPK yang pertama dimana Taufiequrachman
Ruki berharap melalui KPK dapat terciptanya
Indonesia yang good and
clean governance (pemerintahan baik dan bersih).
Isu
ketidak bersihan KPK semakin lama semakin merebak, dikatakan bahwa KPK dalam
menjalankan tugasnya sering tebang pilih dalam menindaklanjuti kasus korupsi
selain itu banyaknya kasus yang membelit petinggi KPK misalnya saja Kontroversi
Antasari Azhar yang terjerat kasus pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen membuat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada
tanggal 4 Mei 2009 memberhentikannya,
selain itu pada kasus Cicak dan Buaya yang sempat menyeret beberapa pejabat
publik, melihat sepak terjang KPK pada saat itu beberapa pihak beranggapah
bahwa KPK telah digembosi dari berbagai pihak dengan mulai menyudutkan KPK antara
lain pernyatakan Ahmad Fauzi seorang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
meminta agar KPK dibubarkan saja, Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
meminta KPK agar libur saja dan tidak mengambil keputusan atau melakukan
memproses penyelidikan korupsi sehubungan status salah satu ketuanya dalam hal
ini Antasari
Azhar, pada 24 Juni 2009, Susilo
Bambang Yudhoyono ikut
mengatakan bahwa KPK power must not go uncheck.
Menurut penulis
sendiri, bagaimanapun berita yang seakan – akan menyudutkan KPK kini, sebaiknya
masyarakat Indonesia tetap memberikan apresiasi terhadap sepak terjang KPK dari
tahun 2003 hingga kini, bayangkan saja telah berapa banyak kasus korupsi yang
dilakukan oleh orang – orang yang tidak bertanggungjawab yang berhasil di
ungkap oleh KPK dan hal tersebut dapat diberi apresiasi yang tinggi, setidaknya
Indonesia dapat menurunkan peringkat Negara terkorup tersebut ataupun harapan
terbesar untuk Indonesia tentunya tidak ada lagi kasus korupsi di Indonesia,
karena kasus korupsi ini sejujurnya telah menyita banyak perhatian dan tentunya
masih banyak masalah lain yang harus kita perbaiki di Indonesia misalnya saja
masalah kemiskinan, kelaparan dan lapangan kerja, masalah – masalah tersbut
tentunya sama pentingnya dengan masalah korupsi ini.
Sebagi generasi
penerus bangsa, bukan hanya KPK sebagai komisi resmi pemberantasan korupsi yang
seharusnya memberantas korupsi di Indonesia tapi seluruh masyarakat Indonesia
tentunya memiliki kewajiban yang sama untuk membersihkan Negara ini, mulai dari
diri sendiri, keluarga hingga Indonesia, tidak ada yang tidak mungkin dan
Indonesia dapat bersih dari korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar