Selasa, 18 November 2014

Pendidik tanpa Gelar

Cahaya ruangan penuh buku
Semakin lama semakin menyilaukan
Cahaya terpancar begitu menusuk
Disaat mata mulai digenangi air

Hari ini siang, pukul 12.55 waktu kampus
Jam istirahat menandakan ruangaan ini akan penuh sesak oleh segerombolan mahasiswa yang sekedar ingin mencari buku atau hanya menghindar dari gerahnya udara panas yang melumatkan kulit. Tapi itu bukan diriku, tubuhku telah terpaku disini sejak sejam yang lalu. Setiba di kampus, kuputuskan untuk langsung menuju perpustakaan, mengambil selembar kertas dan sebuah pulpen lalu menuliskan apapun yang ingin kutuliskan.

Ditengah kekosongan aktifitas, diriku juga sibuk mengamati orang-orang yang sedang berlalu lalang. Hingga tiba-tiba aku tersadar, ternyata yang memenuhi ruangan ini bukan hanya mahasiswa-mahasiswa muda dengan umur sekitaran 18-25 tahun. Tapi mereka-mereka juga yang telah seumuran dengan orang tuaku di kampung sana. Sekejap aku merindukan mereka, sambil asik memandangi raut-raut wajah mereka yang sedang sibuk membaca koran atau disertasi-disertasi, sekelumit wajah orang tuaku juga terpancar. Rindu itu tiba-tiba membungkusku ditengah keramaian perpustakaan kampus. Wajah-wajah serius mereka, dengan sedikit berbicara sambil terus membaca. Dengan kacamata yang telah melorot, rambut yang telah memutih, tapi mereka masih semangat untuk melanjutkan sekolah dan mendapatkan gelar yang juga menandakan strata sosial mereka,
Betapa beruntungnya mereka, ditengah umur yang telah lanjut, mereka masih mendapatkan indahnya berpengetahuan dengan biaya yang tentunya tidak sedikit yang harus dikeluarkan.

Wajah antusias mereka membaca koran-koran pagi ini mengingatkanku dengan wajah serius ayah pada saat membaca koran atau hanya sekedar mengisi Teka Teki Silang yang dia anggap sedikitnya dapat menambah pengetahuan. Diriku jelas mengetahui kemauan Ayah, beliau juga pastinya ingin melanjutkan sekolah hingga mendapat gelar setinggi-tingginya layaknya mahasiswa-mahasiswa pascasarjana ini. Ayah juga pastinya ingin memiliki pendidikan yang tinggi sehingga dapat membanggakan anak-anaknya. Tapi, mungkin nasib ayah tidak seberuntung mereka. Keterbatasan ekonomi memaksa ayah untuk merelakan dirinya berhenti menuntut ilmu pendidikan formal dan menyerahkan kesempatan itu kepada anak-anaknya.
Ayah mungkin tidak memiliki gelar yang panjang, yang berjejer didepan ataupun belakang nama ayah layaknya mereka. Tapi, diriku selalu yakin ilmu keikhlasan membimbing anak dimiliki ayah lebih dari mereka.

Ayahku mungkin biasa saja
Bukan orang bergelar
Bukan orang penting yang terpandang
Bukan orang tinggi yang dihormati
Tapi ayahku akan berhasil mendidik anaknya menjadi orang yang bergelar, terpandang, dan yang dihormati.

Suasana kampus siang ini
Diriku merindukanmu Ayah :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar