Selasa, 25 Juni 2013

Ketika Hidup yang Bercerita

Hari itu terasa mengharu biru, disaat kata berpisah telah berubah menjadi pertemuan indah.
Terpisah jarak beratus-ratus kilo meter, berpisah pulau berbatasan lautan luas, akhirnya kerinduan raga  dan kehauasan akan kehangatan berkumpul kembali ditengah keluarga kecil dan sederhana terwujud sudah. Tuhan sekali lagi membuktikan sebagian kecil bentuk kebahagiaannya, dimana setiap ada perpisahan pastilah ada pertemuan.
Mengadu nasib ditengah keasingan ibu kota sangat menyakitkan, butuh nyawa cadangan untuk berani bertarung. Butuh kaki yang kuat untuk terus berjalan melawan dan bersaing dengan para pengais rejeki lainnya yang juga ingin mencari hidup. Tak seindah pengalaman anak-anak borjuis yang berpisah dari keluarga dan memilih mengaduh nasib di kota besar, setidaknya fasilitas orang tua tetap setia menemati. Tinggal di apartemen mewah, beralas karpet tebal, ditemani dengan dinginnya kamar ber-AC yang mampu melepas seluruh peluh giruk pikuk kebisingan kota, dengan segala fasilitas serba mewah dan instan.
Sungguh sangat berbanding terbalik dengan nasib anak seorang Pegawai Negeri bergaji pas-pasan setiap bulannya untuk makan dan sekolah saudara-saudaranya yang lain, jangankan untuk membiayai hidup anaknya memulai hidup di kota besar, biaya transportasi menuju kotapun memerlukan perjuangan yang cukup keras untuk mendapatkan, sampai-sampai harus mengorbankan sedikit harta benda yang memang hanya sedikit demi perjalanan nasib sang anak.
Bermodalkan keberanian dan tekad yang kuat untuk memperbaiki nasib keluarga. Berbekal nasihat-nasihat dan perjuangan orang tua yang terus terbayang-bayang. Mau tidak mau, suka tidak suka, hanya ada dua pilihan terus berjuang atau mati, hanya itu !!!. 
Memulai dari tinggal menumpang di salah satu rumah kenalan lama hingga sedikit demi sedikit membangaun hidup yang begitu ingin untuk diperjuangan, mengingat banyaknya wajah-wajah penuh harap menunggunya untuk segera pulang dan membawa kabar gembira kesuksesan diri di Negeri antah Berantah.
Hidup terus berjalan bagai roda kemudi angkot yang terus berputar, dari kamar gubuk penuh binatang  dan tempat tidur lusuh hingga kamar berfasilitas pendingin dan penyejuk ruangan menemani perjalanan hidup pejuang nasib. Dari bekerja dengan gaji dibawah standart hingga bekerja dengan gaji di atas rata-rata. Semuanya adalah perjuangan. Dari makan mie instan setiap harinya hingga makan di hotel berbintang 100 bersama para Eksmud berdasi penuh wibawa. Dari naik kopaja hingga naik mobil mewah setara seluruh gaji ayahnya dari awal kerja hingga pensiun sebagai Pegawai Negeri. 
Itulah hidup penuh perjuangan, tragis, namun harus dinikmati. Hingga saatnya tiba, setelah beberapa angka tahun berganti dalam kalender akhirnya ada sedikit waktu yang telah berbaik hati untuk memberikan dirinya bertemu keluarga. Orang-orang yang selama ini selalu berdo'a demi keberhasilan  sang anak. Orang-orang yang selalu memikirkan kekuatan hati sang pengadu nasib bersaing dengan kalangan borjuis mengandalkan kemewahan. Orang-orang yang selalu menggantungkan harapan akan perubahan hidup sebuah keluarga sederhana pensiunan Pegawai Negeri yang mengandalkan kerja keras, kecerdasan , dan kejujuran untuk bersaing melawan kemewahan, materialisme, dan kehidupan kapitalis sang penguasa. 
Sedikit pertemuan dan pengobatan sedikit kerinduan terhadap sang pejuang nasib  ditempat nya dibina dan dibesarkan sebelum betul-betul menantang kehidupan kota. Setidaknya memberikan sedikit energi tambahan untuk terus berjuang dan menanamkan kepercayaan bahwa tidak ada perjuanagan yang sia-sia.
Perjumpaan singkat itu setidaknya cukup mengobati sedikit kerinduan yang telah tumpah dan membentuk samudera rindu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar