Era
globalisasi merupakan era modern dimana tidak ada lagi permasalahan jarak
wilayah dalam suatu masa. Pada
abad ke-21 ini, kita masuk ke dalam era globalisasi, di mana tidak ada batasan
lagi antar negara di seluruh dunia. Saat ini, negara-negara di dunia telah terikat hubungan sehingga
tercipta suatu ketergantungan, baik dalam bidang ekonomi, politik,
sosial dan budaya, dan masih banyak
lagi aspek dalam kehidupan.
Globalisasi menjadi hal yang membawa dampak dan pengaruh bagi negara, baik
dampak positif maupun dampak negatif. Dari semua
dampak negatif yang ditimbulkan oleh era globalisasi, terdapat satu dampak yang
menjadi masalah serius di negara Indonesia. Salah satu dampak tersebut adalah
terjadinya kasus perdagangan manusia. Kasus ini sudah tidak asing lagi. Banyak
sekali berita yang beredar di media massa mengenai kasus perdagangan manusia.
Tidak hanya negara berkembang saja yang memiliki kasus perdagangan manusia bahkan, pada
negara-negara maju pun kasus seperti ini sangat sering ditemui.[1]
Masalah ini merupakan masalah yang sangat sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Isu mengenai perdagangan manusia yang diangkat akan terus
dibicarakan sepanjang waktu. Hal tersebut dikarenakan masalah mengenai
perdagangan manusia sudah sangat mengakar dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari.[2]
Persatuan
Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikan human
trafficking atau perdagangan manusia sebagai: Perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau
penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisirentan, memberi atau
menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yangmempunyai
wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk
Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafficking
terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB
mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) definisi perdagangan
orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang denganancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran
ataumanfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang laintersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar-negara, untuk tujuan eksploitasiatau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Dasar
dibentuknya undang-undang PTPPO adalah Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), yang diadopsi
melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Selain
CEDAW, Undang-Undang Nomor 23 tentang Perlindungan Anak juga menjadi dasar
terbentuknya Undang-Undang PTPPO serta sejumlah produk hukum lainnya
yang signifikan. Dari kedua definisi tentang human trafficking di atas memberikan gambaran kepada kita tentang
tindak pidana yang melanggar hak asasi manusia tersebut. Sehingga kita
dapat melakukan upaya-upaya untuk mengeliminasi adanya korban perdagangan
manusia. Karena meskipun human
trafficking bukan fenomena yang baru, dalam kenyataannya sampai saat
ini perdagangan manusia tersebut belum mendapatkan perhatian yang maksimal
dari pihak-pihak terkait. Maka tak mengherankan jika korban trafficking
terus saja berjatuhan bahkan bisa sajaakan bertambah.
Perdagangan
manusia menjadi salah satu tema yang patut dibicarakan. Sikap dari berbagai
macam kalangan yang beragam dalam menghadapi masalah perdagangan manusia. Serta
adanya pro dan kontra yang datang dari semua kalangan dalam masyarakat Indonesia
membuat permasalahan ini harus diluruskan. Perdagangan manusia membawa dampak
buruk bagi semua kalangan masyarakat. Misalnya saja dalam pandangan Barat, menurut
Rahbar, memandang perempuan sebagai ‘pihak yang dimanfaatkan' dan laki-laki
sebagai ‘pihak yang memanfaatkan'. Rahbar menyebutkan bahwa salah satu
akibat dari pandangan yang salah ini, hari ini human trafficking
(perdagangan manusia), yang di dalamnya meliputi perdagangan kaum perempuan,
merupakan industri yang paling cepat pertumbuhannya di dunia.[3]
Sejarah
Indonesia menunjukan bahwa feodalisme dan penjajahan menyuburkan
praktik-praktik komersialisasi seks atas perempuan untuk memenuhi nafsu lelaki
(Hull, Setyaningsih dan Jones, 1997).[4]
Dalam era kemerdekaan bangsa Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,
masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir. Perdagangan
manusia adalah suatu aktivitas perdagangan atau pertukaran yang melibatkan
manusia sebagai objeknya. Kegiatan perdagangan manusia ini belakangan marak
terjadi terutama di Indonesia dengan remaja wanita dan anak-anak sebagai
sasaran utama. Perdagangan
manusia dapat terjadi karena beberapa faktor utama, yaitu kemiskinan,
kebodohan, dan kekurangan informasi.[5]
Oleh karena faktor-faktor tersebut, perdagangan manusia dapat dengan mudah
dilakukan di Indonesia. Modus yang biasa digunakan di kegiatan perdagangan
manusia umumnya adalah dengan iming-iming pekerjaan berhonor tinggi di kota
besar atau luar negeri.
Umumnya sasaran yang dituju oleh
pelaku perdagangan manusia adalah masyarakat menengah kebawah di daerah
terpencil. Karena dihimpit oleh kondisi kemiskinan dan kekurangan, mereka mudah
dirayu untuk kemudian diperdagangkan. Korban-korban perdagangan tersebut
kemudian diarahkan untuk menjadi pelayan bar atau objek prostitusi. Mereka
ditahan oleh pelaku perdagangan tanpa diberi harapan untuk kembali ke tempat
asal. Pihak-pihak yang melakukan kegiatan ini biasanya terikat suatu jaringan
perdagangan manusia internasional yang terhubung dengan pihak-pihak lainnya di
luar negeri. Untuk mengatasi kegiatan perdagangan manusia, dapat dilakukan
beberapa hal. Seperti diketatkannya imigrasi antar negara, baik melalui darat
laut ataupun udara. Pihak kepolisian juga mulai melacak satu persatu jaringan
pedagang manusia untuk memberantas secara keseluruhan.
Situs ‘Not For Sale' (sebuah jaringan
global yang aktif menyerukan dihentikannya perdagangan manusia)[6]
menyebutkan bahwa perdagangan perempuan dengan tujuan seks (sex trafficking)
memang sering berkedok sedang menjalankan usaha pelacuran. "Karena para
pedagang seks itu berkedok pelacuran, publik tidak merasa marah," demikian
tulis situs itu. Padahal kenyataannya, kebanyakan perempuan yang diperdagangkan
itu adalah gadis-gadis muda (antara 12-17 tahun). Sungguh sulit diterima,
tuduhan bahwa mereka sendiri yang ‘memilih' untuk melacur; apalagi
melacur dalam kondisi yang sangat berat (disiksa, disekap dll).
Situs
ini menganalisis bahwa sex trafficking merupakan salah satu dampak
buruk globalisasi. Globalisasi telah membuat manusia dengan mudah melakukan
bisnis trans-nasional, melewati batas-batas negara. Kecanggihan alat komunikasi
dan jaringan perbankan, membuat para pelaku sex traffickingdengan
mudah bertransaksi satu sama lain, meskipun tinggal di jarak yang sangat
berjauhan. Perempuan-perempuan muda dari Asia atau Eropa Timur, dengan ‘mudah'
diekspor ke berbagai negara di dunia. Pusat-pusat pelacuran dari berbagai
penjuru dunia, dengan mudah mendapat suplai gadis-gadis dari negara manapun
yang diinginkan, hanya dengan mengangkat telepon. Situs "Not For
Sale" mencatat, dewasa ini ada lebih 30 juta manusia yang dijadikan budak
di seluruh dunia (bekerja di berbagai sektor, termasuk bisnis seks).
Jika dilihat dari sudut pandang Hukum
Ketenagakerjaan, timbulnya peristiwa ini manandakan masih adanya celah dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan[7],
sehingga tidak mampu mendukung pencegahan kejahatan perdagangan tenaga kerja.
Meskipun secara normatif, perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan
dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, di
mana dalam rumusannya secara khusus mengatur tentang pekerja perempuan. Selain
itu khusus dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang PPTKI diperuntukkkan
bagi pekerja/buruh migran (TKI yang bekerja di luar negeri). Tetapi dalam
kenyataannya perdagangan wanita di Indonesia dinilai sudah sangat memprihatinkan.
Indonesia digolongkan sebagai negara dalam standar tiga, yang artinya negara
ini dinilai tidak serius menangani perdagangan wanita “Agusmidah menambahkan,
Indonesia dalam peringkat tersebut dikategorikan sebagai negara yang memiliki
korban dalam jumlah yang besar dan pemerintah belum sepenuhnya menerapkan
standar minimum, serta belum melakukan usaha yang berarti dalam memenuhi
pencegahan dan penanggulangan trafficking. (sriwijaya pos, tahun 2006,hal 14)
Bahkan Indonesia juga tidak memiliki data yang memadai tentang wanita.[8]
Ketidak seriusan pemerintah dalam menangani perdagangan wanita diperkuat denga
pernyataan dari Meneg Pem-berdayaan Perempuan, Sri Redjeki Sumarjoto bahwa
“Indonesia belum memiliki data yang pasti tentang berapa jumlah wanita yang
diperdagangkan (sriwijaya pos, tahun 2006,hal 14),[9]
Berdasarkan statistik yang ada, wanita Indonesia banyak yang diperdagangkan di
Malaysia dan Singapura dan sebagian besar dari mereka berasal dari daerah
Indramayu dan Sukabumi. Di Indonesia ada sekitar 34,2% wanita yang menikah di
bawah usia 18 tahun”. Terbukti dengan disampaikanya pernyataan dari “Meneg
Pem-berdayaan Perempuan,[10]
Sri Redjeki Sumarjoto, juga mengakui bahwa Indonesia belum memiliki
undang-undang yang mengatur tentang perdagangan wanita. Sedangkan saat ini hanya
berdasarkan Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sejauh ini
belum dapat dipakai sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Dampak human trafficking yang terjadi
adalah adalah dampak ekonomi sosial dan politik. Dapat di ringkas bahwa
perdagangan manusia memiliki dampak yang sangat besar bagi berbagai bidang
yaitu:
- Perdagangan Manusia adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia
- Perdagangan Manusia mendanai Kejahatan Terorganisir
- Perdagangan manusia menghilangkan Sumber Daya Manusia Banyak Negara.
- Perdagangan Manusia merusak Kesehatan Masyarakat.
- Perdagangan manusia menumbangkan wibawa pemerintah
- Perdagangan Manusia Memakan Biaya Ekonomi Yang Sangat besar.
Pemerintahan
Indonesia sudah mengeluarkan undang-undang perlindungan bagi
migrant worker seperti yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) No 39 tahun
2004 tentang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri (PPTKILN), begitupulakebijakan negara tujuan yang sangat longgar hal ini
terbukti dalam perjanjian Sosek Malindo pada tahun 1967 yang disepakati
antar pemerintah Indonesia dan Malaysia memberi kelonggaran perdagangan
antar masyarakat perbatasan. hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan oknum
tertentuuntuk tindak kejahatan lintas negara salah satunya adalah human
trafficking .
Adapun
langkah-langkah yang telah dilakukan dalam menangani masalah humantrafficking adalah
sebagai berikut :[11]
- Meningkatkan kerjasama dalam penyidikan/penegakan hukum secara konsistensesuai aturan hukum positif masing ± masing negara.
- Mengungkap sindikat jaringan perdagangan wanita dari Indonesia keMalaysia/Fasilitasi.
- Saling tukar menukar data dan informasi.
- Telah ditandatanganinya MLA in Criminal Matters oleh Menteri Kehakimannegara Asean. Tanggal 29 November 2004.
- Adanya Joint Communique antara Kepala Polisi Asean tanggal 19 Juni 2005tentang penegakan hukum terhadap kasus Trafficking in Persons.
- Telah ditandatanganinya MoU antara Pemerintah RI yang diwakili olehDepartemen Luar Negeri dengan International Organization for Migration (IOM)dalam rangka penanganan repatriasi para korban human trafficking di luar negeri.
Dalam
usaha yang telah dilakukan oleh masing-masing instansi, masih ada beberapa
kendala dan hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan masalah human
trafficking tersebut,diantaranya :
- Sindikat melihat peluang dan kelemahan yang ada
- Kekurangtahuan masyarakat / wanita Indonesia bekerja di luar negeri
- Penerapan hukum kurang tepat / hukuman yang terlalu ringan terhadap pelaku.
- Adanya kebijakan Pemerintah Malaysia secara sepihak bahwa TKI dapat menggunakan visa pelancong untuk kemudian diurus permit kerjanya diMalaysia
- Sulitnya memantau para pekerja yang didatangkan dengan menggunakan visa pelancong.
- Pada saat diselamatkan/ meminta perlindungan KBRI para TKI tersebut padaumumnya tidak dapat menyebutkan nama dan alamat Agensi Pekerja yangmengirimnya.
[1]
Perdagangan Manusia di Indonesia, http://febrianipurba.blogspot.com/2012/02/makalah-perdagangan-manusia-di.html
[27
Mei 2013].
[3]
Dian.Y.Suleiman, Perdagangan Perempuan, http://indonesian.irib.ir/artikel1/-/asset_publishe r/7xTQ/c
ontent/era-perdagangan-perempuan [27
Mei 2013].
[4]
Perdagangan Manusia, http://erte021.blogspot.com/2012/09/makalah-perdagangan-manusia.html
. [27 Mei 2013].
[8]
Perdagangan Wanita, http://arno13.blogspot.com/2009/11/perdagangan-wanita-woman-trafigking.html.
[27 Mei 2013].
[11]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar