Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan seharusnya menjadi payung
hukum bagi perlindungan lahan pertanian di Indonesia. Tidak efektifnya
pengaplikasin undang-undang ini bahkan cenderung dikatakan sebagai undang-undang
yang ‘mandul’ akibat tidak adanya kejelasan pengaplikasiannya, sangatlah
berdampak terhadap ketersediaan pangan suatu daerah. Menurut Menteri Pertanian Sebenarnya telah ada undang-undang
perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, yakni UU Nomor 41 tahun 2009, tetapi
undang-undang ini relatif mandul sekarang ini. Karena belum ada penetapan di
masing-masing daerah karena penetapan wilayah lahan pertanian berkelanjutan itu
belum memiliki Peraturan daerah, itulah yang dibutuhkan sekarang yaitu adanya Peraturan
Daerah (perda) yang terkhusus kepada masing-masing daerah.[1]
Banyaknya Pengalihfungsian lahan
pertanian yang telah diatur oleh Undang-undang nomor 41 tahun 2009 ini tentunya
menjadi akibat keterbatasan pangan yang terjadi. Tingkat ke efektifan undang-undang
ini tentunya dipertanyakan, mulai dari peran pemerintah hingga peran masyarakat
setempat yang tetap mempertahankan lahannya sebagai lahan pertanian
berkelanjutan. Menuruu Kepala
Bidang Sarana Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sulsel Hermanto
mengaku, banyaknya lahan pertanian yang dikonversi akibat rendahnya sosialiasi
UU No.41 Tahun 2009 tentang alih fungsi lahan.[2] Di
Sulsel alih fungsi lahan pertanian setiap tahun cukup tinggi.[3]
Hanya saja, luasnya belum diketahui pasti. Secara nasional, data Kementerian
Pertanian menyebutkan, luasnya sekira 100 ribu hectare per tahun.[4]
Tentunya akibat kuranya sosialisasi undang-undang ini banyaknya masyarakat yang
bahkan tidak mengerti mengenai perbadaan antara lahan pertanian biasa dan juga
lahan pertanian berkelanjutan. Ketidaktahuan masyarakat inilah yang banyak
dimanfaatkan oleh pihak pengusaha yang membeli lahan-lahan pertanian
berkelanjutan mereka dengan harga yang relatif murah dan dijadikan seperti
perumahan ataupun pusat ekonomi lainnya.
Pada
ranah ketidaktahuan masyarakat biasa mengenai peraturan ini akibat kurangnya
sosialisasi merupakan realitas yang banyak terjadi, namun yang sangat
disayangkan apabila ketidaktahuan terhadap keberadaan peraturan
perundang-undangan pengalihfungsian lahan pertanian justru dialami oleh pihak
developer (pengembang). Sebagai orang-orang yang berpendidikan tentunya
berkewajiban untuk mengetahui segala aturan apalagi yang berhubungan dengan
pengembangan pembangunan terkhususnya terhadap lahan pertanian yang
berkelanjutan. Menurut Kepala Bidang Sarana Dinas Pertanian, Tanaman Pangan,
dan Hortikultura Sulsel ketidaktahuan terhadap undang-undang ini bukan hanya
dialami oleh masayarakat pemilik lahan pertanian berkelanjutan namun, juga
dialami oleh pihak developer yang mengembangan lahan pertanian berkelanjutan
menjadi perumahan atau sejenisnya.[5]
Undang-undang
ini apabila terlaksana dengan maksimal tentunya tidak akan berdampak terhadap
kekurangan lahan pertanian yang telah terjadi seperti sekrang ini. Pelanggaran
terhadap perundang-undangn ini memiliki sanksi denda bahkan sanksi pidana.
Selain itu, meskipun pihak pengembang memiliki izin pengalihfungsian lahan
pertaian berkelanjutan tersebut, menurut undang-undang maka pihak pengembang
wajib mengganti sebanyak 2 (dua) kali lipat dari luas lahan yang dikembangkan
dengan lahan baru juga.
Berdasarkan
hasil wawancara singkat penulis terhadap salah satu Pegawai Dinas Pertanian Tanaman Pangan
dan holtikultura Sulsel saat ini di Kota Makassar Kawasan Sentra Produksi (KSP)
yang dilindungi hanya tesisa kurang lebih 300 hektar sawah yang mesih
berproduksi aktif yang pada awalnya Kota Makassar sendiri memiliki kurang lebih
2.600 hektar Kawasan Sentra Produksi (KSP) untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat
Kota Makassar. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan terhadap pengembangan
produksi pangan kedepannya, penghitungan kebutuhan pangan dapat dilakukan
kurang lebih seperti berikut :
Jumlah
Penduduk Kota Makassar X 135 Kg (rata-rata konsumsi beras
setiap org/tahun)
1 hektar
sawah = 6 ton beras = 600 kg beras
600
kg = kurang lebih 45 orang dalam 1 hektar
135 kg
Maka,
jumlah penduduk kota Makassar kurang lebih 1,5 juta jiwa
1,5 juta jiwa : 45 = kurang lebih
34.000 ha sawah
Jadi, kebutuhan luas sawah untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat
Kota Makassar yaitu kurang lebih 34.000
hektar.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut telah
membuktikan kota Makassar memang merupakan kota yang maju dari segi pembangunan
kota namun dari segi peningkatan pangan penduduk Kota Makassar dapat dikatakan
sebagi kota yang terbelakang.
[1] Di akses dari http://www.jurn
as.com/news/4712 1/UU_Perlindunga n_Laha n_Pertan ian_Berke lanjutan_D
inilai_Mandul/7/Ekonomi/Ekonomi [18 Maret
2013].
[2]
Di
akses dari http://www.fajar.co.id/read-20121002010043-setop-konversi-lahan-pertanian-ke-properti
[18
Maret 2013]
[3]
Ibid.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar