Senin, 18 Maret 2013

Lahan Pertanian Berkelanjutan Kota Makassar



         Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan seharusnya menjadi payung hukum bagi perlindungan lahan pertanian di Indonesia. Tidak efektifnya pengaplikasin undang-undang ini bahkan cenderung dikatakan sebagai undang-undang yang ‘mandul’ akibat tidak adanya kejelasan pengaplikasiannya, sangatlah berdampak terhadap ketersediaan pangan suatu daerah. Menurut Menteri Pertanian Sebenarnya telah ada undang-undang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, yakni UU Nomor 41 tahun 2009, tetapi undang-undang ini relatif mandul sekarang ini. Karena belum ada penetapan di masing-masing daerah karena penetapan wilayah lahan pertanian berkelanjutan itu belum memiliki Peraturan daerah, itulah yang dibutuhkan sekarang yaitu adanya Peraturan Daerah (perda) yang terkhusus kepada masing-masing daerah.[1]
         Banyaknya Pengalihfungsian lahan pertanian yang telah diatur oleh Undang-undang nomor 41 tahun 2009 ini tentunya menjadi akibat keterbatasan pangan yang terjadi. Tingkat ke efektifan undang-undang ini tentunya dipertanyakan, mulai dari peran pemerintah hingga peran masyarakat setempat yang tetap mempertahankan lahannya sebagai lahan pertanian berkelanjutan. Menuruu Kepala Bidang Sarana Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sulsel Hermanto mengaku, banyaknya lahan pertanian yang dikonversi akibat rendahnya sosialiasi UU No.41 Tahun 2009 tentang alih fungsi lahan.[2] Di Sulsel alih fungsi lahan pertanian setiap tahun cukup tinggi.[3] Hanya saja, luasnya belum diketahui pasti. Secara nasional, data Kementerian Pertanian menyebutkan, luasnya sekira 100 ribu hectare per tahun.[4] Tentunya akibat kuranya sosialisasi undang-undang ini banyaknya masyarakat yang bahkan tidak mengerti mengenai perbadaan antara lahan pertanian biasa dan juga lahan pertanian berkelanjutan. Ketidaktahuan masyarakat inilah yang banyak dimanfaatkan oleh pihak pengusaha yang membeli lahan-lahan pertanian berkelanjutan mereka dengan harga yang relatif murah dan dijadikan seperti perumahan ataupun pusat ekonomi lainnya.
         Pada ranah ketidaktahuan masyarakat biasa mengenai peraturan ini akibat kurangnya sosialisasi merupakan realitas yang banyak terjadi, namun yang sangat disayangkan apabila ketidaktahuan terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan pengalihfungsian lahan pertanian justru dialami oleh pihak developer (pengembang). Sebagai orang-orang yang berpendidikan tentunya berkewajiban untuk mengetahui segala aturan apalagi yang berhubungan dengan pengembangan pembangunan terkhususnya terhadap lahan pertanian yang berkelanjutan. Menurut Kepala Bidang Sarana Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sulsel ketidaktahuan terhadap undang-undang ini bukan hanya dialami oleh masayarakat pemilik lahan pertanian berkelanjutan namun, juga dialami oleh pihak developer yang mengembangan lahan pertanian berkelanjutan menjadi perumahan atau sejenisnya.[5]
         Undang-undang ini apabila terlaksana dengan maksimal tentunya tidak akan berdampak terhadap kekurangan lahan pertanian yang telah terjadi seperti sekrang ini. Pelanggaran terhadap perundang-undangn ini memiliki sanksi denda bahkan sanksi pidana. Selain itu, meskipun pihak pengembang memiliki izin pengalihfungsian lahan pertaian berkelanjutan tersebut, menurut undang-undang maka pihak pengembang wajib mengganti sebanyak 2 (dua) kali lipat dari luas lahan yang dikembangkan dengan lahan baru juga.
         Berdasarkan hasil wawancara singkat penulis terhadap salah satu Pegawai Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan holtikultura Sulsel saat ini di Kota Makassar Kawasan Sentra Produksi (KSP) yang dilindungi hanya tesisa kurang lebih 300 hektar sawah yang mesih berproduksi aktif yang pada awalnya Kota Makassar sendiri memiliki kurang lebih 2.600 hektar Kawasan Sentra Produksi (KSP) untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Kota Makassar. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan terhadap pengembangan produksi pangan kedepannya, penghitungan kebutuhan pangan dapat dilakukan kurang lebih seperti berikut :
Jumlah Penduduk Kota Makassar X 135 Kg (rata-rata konsumsi beras setiap org/tahun)
1 hektar sawah = 6 ton beras = 600 kg beras
                                600 kg             =  kurang lebih 45 orang dalam 1 hektar
                               135 kg

Maka, jumlah penduduk kota Makassar kurang lebih 1,5 juta jiwa
         1,5 juta jiwa : 45 = kurang lebih 34.000 ha sawah
Jadi, kebutuhan luas sawah untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Kota Makassar yaitu kurang lebih 34.000 hektar.

          Berdasarkan hasil perhitungan tersebut telah membuktikan kota Makassar memang merupakan kota yang maju dari segi pembangunan kota namun dari segi peningkatan pangan penduduk Kota Makassar dapat dikatakan sebagi kota yang terbelakang.


[1]  Di akses dari http://www.jurn as.com/news/4712 1/UU_Perlindunga n_Laha n_Pertan  ian_Berke lanjutan_D inilai_Mandul/7/Ekonomi/Ekonomi [18 Maret 2013].
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.

LKTI UIN MALANG 14 Maret 2013

LUAR BIASA \:D/

TIADA KEBERHASILAN TANPA PERJUANGAN :D