Selasa, 06 Oktober 2015

Tugas Seorang Pemimpin

Seakan tak lagi sebangsa
Seakan tak lagi sedarah
Seakan tak lagi saudara

Begitu banyak orang-orang di negeri ini yang mendambakan menjadi seorang pemimpin. Kenikmatan yang mereka sebut sebagai "surga dunia" tergadang begitu menggiurkan. Mobil mewah, rumah nyaman, pengawalan untuk rasa aman, ketenaran, bahkan penjaminan biaya hidup menjadi mimpi kalangan elit untuk menguasai dan semakin berkuasa. 
Tapi...
Di balik kenikmatan yang mereka sebut sebagai "surga dunia" terdapat tugas utama, terutama dan yang paling utama, yang bahkan tidak sempat terpikirkan bagi sang penguasa penikmat surga dunia. Menjadi seorang pemimpin yang sebenarnya memimpin, yang meleburkan keinginan individualis menjadi keinginan universal, tidak mengenal lagi istilah ke-aku-an melainkan -mereka-, tidak ada lagi istilah di-layan-i tapi hanya me-layan-i, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, melainkan untuk kepentingan rakyat, dirinya bukan milik keluarga melainkan milik rakyat, dan masih begitu banyak pengorbanan seorang pemimpin...

Ketika itu, umur saya masih sangat muda, dapat dikatakan saya masih terlihat tidak terlalu pantas memimpin sebuah kota besar dari negara yang berumur baru belasa . Kota yang memiliki penduduk terpadat, tingakat kesejahteraan masyarakat terendah, pengangguran terbanyak, lapangan kerja kurang, hingga segala kebobrokan yang menggetarkan saya dan sempat membuat diri saya merasa pesimis. Namun, tidak ada alasan mundur untuk diri saya. Saya sudah terlanjur melangkah dan pantang untuk kembali pulang.

Di umur yang masih sangat muda, saya sama sekali tidak memiliki pengalaman memimpin suatu daerah. Namun kini saya harus meimpin sebuah kota besar dengan sejumlah permasalahan yang lebih besar lagi. Hari-hari pertama saya habiskan dengan mengelilingi seluk beluk kota ini. Tidakkah jantung kita berdebar-debar melihat pemuda-pemuda yang seharusnya tenaga produktif, setiap harinya hanya mondar-mandir mencari kesempatan dan lapangan pekerjaan. Tidakkah tersentuh rasa kemanusiaan kita melihat ribuan keluarga yang masih hidup berjejal-jejal dalam satu rumah yang sempit. Lebih menyedihkan lagi, mereka yang berada di bawah kondisi minim itu sudah tidak merasa hidupnya jauh di bawah standar kehidupan seorang manusia, karena sejak mereka lahir mereka telah berada dalam keadaan seperti ini. Bukan hanya permasalahan dari tingkat kesejahteraan masyarakat yang membelenggu kota ini, tetapi iklim politik yang juga didominasi oleh sikap curiga-mencurigai, serta kekosongan kepemimpinan daerah dan dualisme susunan perangkat pemerintahan yang berakibat menipisnya wibawa pemerintah turut juga mendominasi kesengsaraan kota besar ini. 

Sekejap saya merenung, berpikir perbaikan apa atau dari mana saya harus melangkah. Namun, dengan berbagai opin-opini publik yang semakin menyudutkan saya dan di satu sisi memaksa saya untuk mengambil tindakan. Akhirnya untuk melaksanakan pembaharuan dan modernisasi, saya melabrak sendi-sendi nilai, norma dan kebiasaan yang berlaku di masyarkat. 

Saya memutuskan untuk membangun sekolah-sekolah, rumah sakit, pusat perkantoran dan industri, serta berbagai kebutuhan masyarkat lainnya yang seharusnya telah ada dan tersedia. Namun, saya memiliki hambatan yang besar yaitu "uang", yang saya perlukan untuk membiayai pelaksanan tersebut.

Uang ini tidak bisa saya dapatkan dari anggaran dan belum bisa juga diperoleh dari masyarakat yang masih kekurangan. Disinilah dengan mengambil "risiko tidak disenangi banyak orang" saya mengembangkan sumber dana dari pajak-pajak yang bersumber dari beberapa bentuk perjudian yang merajalela beroprasi secara ilegal di kota ini. Akhirnya, dari usaha perjudian ilegal pemerintah memutuskan menjadikan usaha tersebut legal dengan mengambil pajak yang begitu besar dari setiap usaha dan membangun kota ini. Langkah tersebut adalah langkah terkahirnya yang dapat ditempuh untuk mendorong pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Dari protes dan cercaan beberapa pihak, tanpa menyembunyikan asal muasal uang pembangunan kota. Saya selalu mengatakan bahwa ribuan sekolah yang terbangun, ribuan rumah sakit, ribuan tempat peribadatan, dan ribuan lapangan kerja yang terbuka, serta berbagai fasilitas lainnya diperoleh dari pajak-pajak yang dipungut dari aktifitas perjudian dan sejenisnya di kota ini. 

Akhirnya, dalam kurun waktu 10 tahun terkahir, kota yang dahulunya menunggu ajal kini laksana gadis yang sedang berdandan, telah tumbuh puluhan bangunan bertingkat tinggi, pemukiman, pemukiman rumah yang layak, jalanan-jalanan licin dengan ratusan ribu kendaraan mengkilap, pohon-pohon pelindung, taman-taman dan gerakan penghijauan dari masyarakat yang seolah-olah merupakan rambut dari sang gadis, serta investor-investor yang telah melirik kota ini sebagai usaha untuk membuka lapangan-lapangan kerja baru bagi pemuda-pemuda produktif kota. 

Pembangunan dan perkembangan kota ini mungkin menjadi polemik dalam masyarakat karena sikap saya untuk melanggar norma-norma dalam kehidupan, namun menjadi seorang pemimpin memang butuh risiko dan pengorbanan. Ada kalanya, harga diri serta nama baik harus saya korbankan untuk mengangkat harkat dan martabat orang banyak. Meninggalkan berbagai fasilitas mewah, untuk merasakan kepedihan dan kesederhanaan hidup masyarakat. Menentukan pilihan dan mengambil risiko dengan taruhan nyawa demi kemakmuran rakyat.


- penggalan kisa dari pidato perpisahan PJ. GUBERNUR KDKI ALI SADIKIN juli 1977-